Penulis: Ilana Tan
Editor: -
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tema: Cinta, Persahabatan, Konflik masa lalu
Tebal: 240 hlm
Harga: Rp38.000
Rilis: Pebruari 2010
Rating:2 dari 5 bintang
Naomi
Ishida adalah gadis blasteran Jepang - Indonesia yang tinggal dan berprofesi
sebagai model di London, Inggris (Jika Anda membaca Winter in Tokyo,
maka Anda dengan mudah akan mengetahui siapa itu Naomi. Ya, Naomi adalah
saudara kembar dari Keiko, tokoh utama di Winter in Tokyo). Suatu ketika, Naomi
mendapat kesempatan menjadi model video klip musik salah satu penyanyi terkenal
asal Korea dimana ia dipasangkan dengan model tampan asal Korea juga, Jo In-Ho
atau yang lebih dikenal Danny Jo. Dari mula, Naomi sudah bersikap dingin
menghadapi Danny yang mencoba segala cara untuk mendekatinya. Namun, seperti
juga tetesan air yang mampu membuat ceruk di karang yang kokoh sekalipun,
kegigihan Danny lambat laun meruntuhkan dinding pembatas yang diciptakan oleh Naomi
sehingga keduanya dapat menjalin “pertemanan” yang harmonis, meskipun kemudian
ada sosok Miho yang merangsek masuk ke dalam hubungan mereka.
Maka,
terjadilah tarik ulur di antara Naomi - Danny - Miho. Hubungan mereka pun
pasang surut, sebentar panas sebentar dingin. Belum tuntas persaingan Naomi -
Miho memperebutkan Danny, justru hadir orang dari masa lalu Naomi yang
memorakporandakan jalinan kasih yang tinggal sedikit lagi terbina. Apakah
akhirnya Naomi dan Danny dapat bersatu? Masa lalu macam apa yang membuat Naomi
begitu ketakutan? Apa hubungan kakak laki-laki Danny dengan masa lalu Naomi?
Lalu bagaimana dengan usaha Miho memperjuangkan cintanya pada Danny?
Tentu
saja, Anda harus menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan
membaca Spring in London karya Ilana Tan ini (buku seri musimnya yang
terakhir-kah?). Awalnya saya tertarik pada Autumn in
Paris
(buku #2) yang meskipun mengecewakan tapi tidak menyurutkan niat saya membaca Winter in
Tokyo
(buku #3). Nah, berkat buku ketiga-nya saya justru penasaran dengan buku
pertamanya, Summer in
Seoul,
sehingga lengkaplah tiga buku seri musim karya Ilana sudah saya rampungkan
membacanya. Ternyata, masih ada satu lagi yang terbit (tentu saja, dari empat
musim memang masih kurang satu lagi yang belum menjadi setting) di bulan
Pebruari 2010, maka saya menyampirkan asa di ketinggian langit bahwa Spring
in London akan menyajikan drama-romantis yang menggetarkan.
Namun, pada kenyataannya saya agak kecewa dengan yang ini. Lebih kecewa ketimbang sehabis membaca buku Autumn atau Summer-nya. Yang pertama kali saya soroti adalah minimnya konflik yang diciptakan Ilana di sini. Konflik yang terasa hanya tentang tarik-ulur perasaan antara Naomi dan Danny pada keseluruhan novel setebal 240 halaman ini. Hadirnya tokoh Miho untuk memberikan efek tegang cinta segitiga di novel ini justru kurang greget, karena meskipun telah jelas-jelas dinyatakan sikap Miho yang akan, katakanlah, berjuang sampai titik darah penghabisan demi mendapatkan cinta Danny, tidak dinampakkan antusiasme dan semangat kompetisi sehingga Miho terkesan selayaknya singa tanpa taring dan cakar. Terlihat gahar, padahal nggak bisa apa-apa. Beban masa lalu yang menjadi bandul pemberat bobot masalah dalam perjalanan cinta Naomi - Danny juga saya pikir kurang “boom” begitu. Jadi, ketika masa lalu itu dibongkar saya hanya bisa melongo dan bilang, “…eh, gini doank?“
Namun, pada kenyataannya saya agak kecewa dengan yang ini. Lebih kecewa ketimbang sehabis membaca buku Autumn atau Summer-nya. Yang pertama kali saya soroti adalah minimnya konflik yang diciptakan Ilana di sini. Konflik yang terasa hanya tentang tarik-ulur perasaan antara Naomi dan Danny pada keseluruhan novel setebal 240 halaman ini. Hadirnya tokoh Miho untuk memberikan efek tegang cinta segitiga di novel ini justru kurang greget, karena meskipun telah jelas-jelas dinyatakan sikap Miho yang akan, katakanlah, berjuang sampai titik darah penghabisan demi mendapatkan cinta Danny, tidak dinampakkan antusiasme dan semangat kompetisi sehingga Miho terkesan selayaknya singa tanpa taring dan cakar. Terlihat gahar, padahal nggak bisa apa-apa. Beban masa lalu yang menjadi bandul pemberat bobot masalah dalam perjalanan cinta Naomi - Danny juga saya pikir kurang “boom” begitu. Jadi, ketika masa lalu itu dibongkar saya hanya bisa melongo dan bilang, “…eh, gini doank?“
Setiap
penulis memang perlu menegaskan keunikan dan kekhasan masing-masing, dan Ilana
berhasil “menyihir” fans setia-nya, setidaknya dalam seri novelnya ini, dengan
menjadikan musim sebagai latar dan judul masing-masing novelnya. Ilana juga
berhasil membuat keterkaitan antara satu novel dengan novelnya yang lain,
meskipun cuman sekadar basa-basi belaka. Saya pikir, basa-basi itu pula yang
mengikat kepenasaran dari pembaca serialnya. Pembaca yang sudah rampung dengan
satu novelnya kemudian bertanya, siapa yang muncul di novel berikutnya, apakah
hubungan tokoh di novel ketiga dengan tokoh di novel pertama, dan sebagainya.
Hal tersebut membuat pembaca yang terhipnotis pada salah satu judul novelnya
menjadi kurang lengkap jika belum menggenapi-baca kesemua musimnya. Dengan
demikian, Ilana juga memperoleh keuntungan lain yaitu dapat membangun fans
pembaca yang akan selalu setia menanti karya-karyanya.
Tetapi,
keunikan Ilana justru tidak dibarengi dengan ragam olahan plot dan konflik yang
mengagumkan. Entah disengaja atau bagaimana, plot gampang sekali tertebak. Dua
orang asing, bertemu dalam satu frame, saling menghindar, berkenalan,
menjalin hubungan, dan akhirnya jatuh hati. Karakter para tokohnya pun seragam.
Too perfect. Too good to be true. Lebih “ngayal” dibanding tokoh-tokoh
sinetron yang sering dihujat.
London, adalah kota impian
saya. Menempati urutan pertama dalam daftar kota di luar negeri yang ingin saya
kunjungi, sehingga tak heran saya sangat “berselera” dan bersemangat untuk
sergera merampungkan-baca novel ini. Bayangan saya akan keindahan negeri
dongeng raja dan ratu serta Harry Potter yang populer banget, apalagi
dalam balutan musim semi yang sejuk, nyatanya tidak begitu terasa. Ilana
terlalu sibuk membangun hubungan aneh antara Naomi dan Danny yang sayangnya
juga tidak berkesan bagi saya. Maka sepanjang novel, saya hanya disuguhi
jalinan cerita tentang seorang laki-laki yang mati-matian menarik minat seorang
gadis yang nggak jelas maunya apa (di mata si lelaki). Sentilan masalah yang
dilontarkan menjelang titik kulminasi terbongkarnya masa lalu Naomi hanya
memberi efek tegang sesaat, begitu materi masa lalunya dibeberkan, saya
tersenyum kecut dan jelas-jelas kecewa. Masa lalu yang biasa untuk menjadi
sebuah pengungkit kejadian traumatik.
Yang
juga terlihat kurang bagus di detail adalah usaha Ilana untuk menunjukkan bahwa
setting cerita ada di kota-nya Lady Di. Seingat saya hampir tak
secuil pun ada kalimat dalam bahasa Inggris - yang agak janggal bagi novel
urban modern masa kini- (yang beberapa kali saya tunggu, untuk sekadar
mengingatkan bahwa kita sekarang ada di London). Dan, usaha Ilana untuk
meng-Inggris-kan novelnya hanya dari seringnya dia mengunakan idiom “Oh,
dear” yang memang khas Inggris banget. Sayang, bagi saya pribadi,
konsistensi penggunaan idiom itu menjadi satu yang agak annoying akhirnya.
Kelihatan sekali bahwa Ilana ingin mengesankan si tokoh ada di negeri Britania
Raya. Too bad! Nggak sukses! Kalau sempat iseng, hitunglah berapa
kali kata oh, dear itu muncul (catatan saya: 13 kali).
Entah
saya-nya yang sudah kadung “diracuni” infotainment di
televisi/majalah/tabloid atau situs gosip sehingga saya selalu terdoktrin bahwa
artis/selebritis itu paling tidak ada saja wartawan yang menguntit mencari
berita sensasi tentang diri si artis. Nah, kenapa saya tidak mendapati sedikit
saja sensasi glamor dari kehidupan Naomi - Danny, yang ceritanya Naomi pernah
ikut London Fashion Week dan Danny yang adalah bintang iklan favorit di
Korea? Oh, come on, di sini saja (baca: Indonesia) ada banyak majalah
dan tabloid yang isinya artis-artis Asia timur (Korea, Jepang, China, Taiwan,
Hongkong), apakah di negeri mereka sendiri mereka tidak diberitakan? Berarti
mereka bukan artis yang ngetop-ngetop amat ya…
Yang
saya suka dari gaya bercerita Ilana adalah caranya mengambil point of view
yang bergantian antara Naomi dan Danny, meskipun kata ganti yang digunakan
tetap orang ketiga. Kadang, pada satu peristiwa diulas dari dua sudut yang berbeda,
sudutnya Naomi dan sudutnya Danny. Sayang, yang seperti itu tidak konsisten
dilakukan oleh Ilana. Justru tiba-tiba cara penceritaan itu dilewatkan tokoh
lain yang sebelum dan sesudahnya hanya mempunyai porsi figuran/cameo belaka.
Satu hal yang juga tidak masuk dalam takaran selera saya karena dengan demikian
sang narator menjadi plin-plan, suatu ketika serba tahu, di lain kesempatan
berpura-pura misterius. Nggak banget deh!
Kesalahan
teknis percetakan juga banyak sekali, ya ampun… saya sampai harus mengelus
dada dan berusaha menyabar-nyabarkan diri. Kata hati saya memberi nasihat, “ketikan
yang kacau nggaka kan bikin cerita yang bagus jadi amburadul,” yang
sayangnya sama sekali tidak berguna bagi saya yang menyukai karya tulis yang
diproduksi secara cermat. Karya tulis yang menghargai ke”awwam“an dari
pembacanya (seperti saya), sehingga meminimalisai segala bentuk kesalahan cetak
agar tidak mengurangi kenyamanan dalam membaca. Berikut adalah beberapa kesalah
ketik tersebut:
(hlm: 12) —> mmebuat saya bingung, Danny: Nuna harus
bicara dengan Ibu, Anna: …apa yang harus kubicarakan dengan Ibu?, Danny: Nuna,
aku harus benar-benar bicara dengan Ibu. Nah, jadi sebenarnya dalam dialog ini
Danny ingin minta tolong kakaknya untuk bicara dengan ibunya, atau akhirnya dia
memutuskan untuk bicara sendiri pada ibunya? membingungkan.
(hlm: 13) Nuna tahu, akhir akhir aku
sangat sibuk…. —> tidak kah sebaiknya ditambahkan kata “ini” setelah kata
“akhir-akhir”?
(hlm: 16) ….membuatmu merasa seperti
di melayang di angkasa…. —> seharusnya kata “di” yang ada di depan kata
“melayang” dihilangkan.
(hlm: 34-35) salah satu contoh
kelemahan Ilana adalah diksinya yang terbatas, dia gemar sekali
mengulang-ngulang kalimat, salah satunya adalah: “…terpaku di tempat. Tidak
bisa bergerak, tidak bisa bersuara, tidak bisa bernapas.” Kalimat ini
hampir-hampir sering sekali digunakan Ilana di sepanjang novel ini.
(hlm: 112) kalimat redundansi —>
Ia ingin melihat gadis itu, melihat gadis itu tersenyum…..
(hlm: 116) “Aku ingat jelas aku
menanyakannya.” Chris menegaskan —> harusnya Danny di sini yang menegaskan,
bukan Chris.
(hlm: 157) Chris: “Kau mau aku
menyeret Miho menjauh dari Danny?”, Miho menggeleng. “Tidak apa-apa , Chris….”
—-> harusnya yang menggelang adalah Naomi.
………….dan rasanya masih ada
buanyakkkkk lagi kesalahan teknis cetak yang lainnya.
Maka,
perpaduan antara segepok kesalahan teknis, minimnya konflik yang merangkai
cerita, goyahnya beberapa karakter kunci, skenario klise yang gampang ketebak,
serta diksi yang kelewat minim dan sering berulang membuat novel ini menjadi
seri terjelek dari metropop seri musimnya Ilana, menurut saya pribadi.
Semoga saja, di novel berikutnya Ilana lebih bisa mengeksplorasi tema dan plot
yang berbeda sehingga dapat menyuguhkan novel yang tetap romantis namun
berbobot.
Okay…selamat membaca,
kawan!
Sinopsis
(cover belakang)
Gadis itu tidak menyukainya. Kenapa?
Astaga, ia—Danny Jo—adalah orang
yang baik. Sungguh! Ia selalu bersikap ramah, sopan dan menyenangkan. Lalu
kenapa Naomi Ishida menjauhinya seperti wabah penyakit? Bagaimana mereka bisa
bekerja sama dalam pembuatan video musik ini kalau gadis itu mengacuhkannya
setiap saat? Kesalahan apa yang sudah dia lakukan?
Bagaimanapun juga Danny bukan orang
yang gampang menyerah. Ia akan mencoba mendekati Naomi untuk mencari tahu
alasan gadis itu memusuhinya.
Tetapi ada dua hal yang tidak diperhitungkan
Danny. Yang pertama adalah kemungkinan ia akan jatuh cinta pada Naomi Ishida
yang dingin, misterius, dan penuh rahasia itu. Dan yang kedua adalah
kemungkinan ia akan menguak rahasia gelap yang bisa menghancurkan mereka berdua
dan orang-orang yang mereka sayangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar