Rabu, 20 Maret 2013

Resensi Buku

Judul: Spring in London
Penulis: Ilana Tan
Editor: -
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tema: Cinta, Persahabatan, Konflik masa lalu
Tebal: 240 hlm
Harga: Rp38.000
Rilis: Pebruari 2010







Rating:2 dari 5 bintang
Naomi Ishida adalah gadis blasteran Jepang - Indonesia yang tinggal dan berprofesi sebagai model di London, Inggris (Jika Anda membaca Winter in Tokyo, maka Anda dengan mudah akan mengetahui siapa itu Naomi. Ya, Naomi adalah saudara kembar dari Keiko, tokoh utama di Winter in Tokyo). Suatu ketika, Naomi mendapat kesempatan menjadi model video klip musik salah satu penyanyi terkenal asal Korea dimana ia dipasangkan dengan model tampan asal Korea juga, Jo In-Ho atau yang lebih dikenal Danny Jo. Dari mula, Naomi sudah bersikap dingin menghadapi Danny yang mencoba segala cara untuk mendekatinya. Namun, seperti juga tetesan air yang mampu membuat ceruk di karang yang kokoh sekalipun, kegigihan Danny lambat laun meruntuhkan dinding pembatas yang diciptakan oleh Naomi sehingga keduanya dapat menjalin “pertemanan” yang harmonis, meskipun kemudian ada sosok Miho yang merangsek masuk ke dalam hubungan mereka.
Maka, terjadilah tarik ulur di antara Naomi - Danny - Miho. Hubungan mereka pun pasang surut, sebentar panas sebentar dingin. Belum tuntas persaingan Naomi - Miho memperebutkan Danny, justru hadir orang dari masa lalu Naomi yang memorakporandakan jalinan kasih yang tinggal sedikit lagi terbina. Apakah akhirnya Naomi dan Danny dapat bersatu? Masa lalu macam apa yang membuat Naomi begitu ketakutan? Apa hubungan kakak laki-laki Danny dengan masa lalu Naomi? Lalu bagaimana dengan usaha Miho memperjuangkan cintanya pada Danny?
Tentu saja, Anda harus menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan membaca Spring in London karya Ilana Tan ini (buku seri musimnya yang terakhir-kah?). Awalnya saya tertarik pada Autumn in Paris (buku #2) yang meskipun mengecewakan tapi tidak menyurutkan niat saya membaca Winter in Tokyo (buku #3). Nah, berkat buku ketiga-nya saya justru penasaran dengan buku pertamanya, Summer in Seoul, sehingga lengkaplah tiga buku seri musim karya Ilana sudah saya rampungkan membacanya. Ternyata, masih ada satu lagi yang terbit (tentu saja, dari empat musim memang masih kurang satu lagi yang belum menjadi setting) di bulan Pebruari 2010, maka saya menyampirkan asa di ketinggian langit bahwa Spring in London akan menyajikan drama-romantis yang menggetarkan.

Namun, pada kenyataannya saya agak kecewa dengan yang ini. Lebih kecewa ketimbang sehabis membaca buku Autumn atau Summer-nya. Yang pertama kali saya soroti adalah minimnya konflik yang diciptakan Ilana di sini. Konflik yang terasa hanya tentang tarik-ulur perasaan antara Naomi dan Danny pada keseluruhan novel setebal 240 halaman ini. Hadirnya tokoh Miho untuk memberikan efek tegang cinta segitiga di novel ini justru kurang greget, karena meskipun telah jelas-jelas dinyatakan sikap Miho yang akan, katakanlah, berjuang sampai titik darah penghabisan demi mendapatkan cinta Danny, tidak dinampakkan antusiasme dan semangat kompetisi sehingga Miho terkesan selayaknya singa tanpa taring dan cakar. Terlihat gahar, padahal nggak bisa apa-apa. Beban masa lalu yang menjadi bandul pemberat bobot masalah dalam perjalanan cinta Naomi - Danny juga saya pikir kurang “boom” begitu. Jadi, ketika masa lalu itu dibongkar saya hanya bisa melongo dan bilang, “…eh, gini doank?
Setiap penulis memang perlu menegaskan keunikan dan kekhasan masing-masing, dan Ilana berhasil “menyihir” fans setia-nya, setidaknya dalam seri novelnya ini, dengan menjadikan musim sebagai latar dan judul masing-masing novelnya. Ilana juga berhasil membuat keterkaitan antara satu novel dengan novelnya yang lain, meskipun cuman sekadar basa-basi belaka. Saya pikir, basa-basi itu pula yang mengikat kepenasaran dari pembaca serialnya. Pembaca yang sudah rampung dengan satu novelnya kemudian bertanya, siapa yang muncul di novel berikutnya, apakah hubungan tokoh di novel ketiga dengan tokoh di novel pertama, dan sebagainya. Hal tersebut membuat pembaca yang terhipnotis pada salah satu judul novelnya menjadi kurang lengkap jika belum menggenapi-baca kesemua musimnya. Dengan demikian, Ilana juga memperoleh keuntungan lain yaitu dapat membangun fans pembaca yang akan selalu setia menanti karya-karyanya.
Tetapi, keunikan Ilana justru tidak dibarengi dengan ragam olahan plot dan konflik yang mengagumkan. Entah disengaja atau bagaimana, plot gampang sekali tertebak. Dua orang asing, bertemu dalam satu frame, saling menghindar, berkenalan, menjalin hubungan, dan akhirnya jatuh hati. Karakter para tokohnya pun seragam. Too perfect. Too good to be true. Lebih “ngayal” dibanding tokoh-tokoh sinetron yang sering dihujat.
London, adalah kota impian saya. Menempati urutan pertama dalam daftar kota di luar negeri yang ingin saya kunjungi, sehingga tak heran saya sangat “berselera” dan bersemangat untuk sergera merampungkan-baca novel ini. Bayangan saya akan keindahan negeri dongeng raja dan ratu serta Harry Potter yang populer banget, apalagi dalam balutan musim semi yang sejuk, nyatanya tidak begitu terasa. Ilana terlalu sibuk membangun hubungan aneh antara Naomi dan Danny yang sayangnya juga tidak berkesan bagi saya. Maka sepanjang novel, saya hanya disuguhi jalinan cerita tentang seorang laki-laki yang mati-matian menarik minat seorang gadis yang nggak jelas maunya apa (di mata si lelaki). Sentilan masalah yang dilontarkan menjelang titik kulminasi terbongkarnya masa lalu Naomi hanya memberi efek tegang sesaat, begitu materi masa lalunya dibeberkan, saya tersenyum kecut dan jelas-jelas kecewa. Masa lalu yang biasa untuk menjadi sebuah pengungkit kejadian traumatik.
Yang juga terlihat kurang bagus di detail adalah usaha Ilana untuk menunjukkan bahwa setting cerita ada di kota-nya Lady Di. Seingat saya hampir tak secuil pun ada kalimat dalam bahasa Inggris - yang agak janggal bagi novel urban modern masa kini- (yang beberapa kali saya tunggu, untuk sekadar mengingatkan bahwa kita sekarang ada di London). Dan, usaha Ilana untuk meng-Inggris-kan novelnya hanya dari seringnya dia mengunakan idiom “Oh, dear” yang memang khas Inggris banget. Sayang, bagi saya pribadi, konsistensi penggunaan idiom itu menjadi satu yang agak annoying akhirnya. Kelihatan sekali bahwa Ilana ingin mengesankan si tokoh ada di negeri Britania Raya. Too bad! Nggak sukses! Kalau sempat iseng, hitunglah berapa kali kata oh, dear itu muncul (catatan saya: 13 kali).
Entah saya-nya yang sudah kadung “diracuni” infotainment di televisi/majalah/tabloid atau situs gosip sehingga saya selalu terdoktrin bahwa artis/selebritis itu paling tidak ada saja wartawan yang menguntit mencari berita sensasi tentang diri si artis. Nah, kenapa saya tidak mendapati sedikit saja sensasi glamor dari kehidupan Naomi - Danny, yang ceritanya Naomi pernah ikut London Fashion Week dan Danny yang adalah bintang iklan favorit di Korea? Oh, come on, di sini saja (baca: Indonesia) ada banyak majalah dan tabloid yang isinya artis-artis Asia timur (Korea, Jepang, China, Taiwan, Hongkong), apakah di negeri mereka sendiri mereka tidak diberitakan? Berarti mereka bukan artis yang ngetop-ngetop amat ya…
Yang saya suka dari gaya bercerita Ilana adalah caranya mengambil point of view yang bergantian antara Naomi dan Danny, meskipun kata ganti yang digunakan tetap orang ketiga. Kadang, pada satu peristiwa diulas dari dua sudut yang berbeda, sudutnya Naomi dan sudutnya Danny. Sayang, yang seperti itu tidak konsisten dilakukan oleh Ilana. Justru tiba-tiba cara penceritaan itu dilewatkan tokoh lain yang sebelum dan sesudahnya hanya mempunyai porsi figuran/cameo belaka. Satu hal yang juga tidak masuk dalam takaran selera saya karena dengan demikian sang narator menjadi plin-plan, suatu ketika serba tahu, di lain kesempatan berpura-pura misterius. Nggak banget deh!
Kesalahan teknis percetakan juga banyak sekali, ya ampun… saya sampai harus mengelus dada dan berusaha menyabar-nyabarkan diri. Kata hati saya memberi nasihat, “ketikan yang kacau nggaka kan bikin cerita yang bagus jadi amburadul,” yang sayangnya sama sekali tidak berguna bagi saya yang menyukai karya tulis yang diproduksi secara cermat. Karya tulis yang menghargai ke”awwam“an dari pembacanya (seperti saya), sehingga meminimalisai segala bentuk kesalahan cetak agar tidak mengurangi kenyamanan dalam membaca. Berikut adalah beberapa kesalah ketik tersebut:
(hlm: 12) —> mmebuat saya bingung, Danny: Nuna harus bicara dengan Ibu, Anna: …apa yang harus kubicarakan dengan Ibu?, Danny: Nuna, aku harus benar-benar bicara dengan Ibu. Nah, jadi sebenarnya dalam dialog ini Danny ingin minta tolong kakaknya untuk bicara dengan ibunya, atau akhirnya dia memutuskan untuk bicara sendiri pada ibunya? membingungkan.
(hlm: 13) Nuna tahu, akhir akhir aku sangat sibuk…. —> tidak kah sebaiknya ditambahkan kata “ini” setelah kata “akhir-akhir”?
(hlm: 16) ….membuatmu merasa seperti di melayang di angkasa…. —> seharusnya kata “di” yang ada di depan kata “melayang” dihilangkan.
(hlm: 34-35) salah satu contoh kelemahan Ilana adalah diksinya yang terbatas, dia gemar sekali mengulang-ngulang kalimat, salah satunya adalah: “…terpaku di tempat. Tidak bisa bergerak, tidak bisa bersuara, tidak bisa bernapas.” Kalimat ini hampir-hampir sering sekali digunakan Ilana di sepanjang novel ini.
(hlm: 112) kalimat redundansi —> Ia ingin melihat gadis itu, melihat gadis itu tersenyum…..
(hlm: 116) “Aku ingat jelas aku menanyakannya.” Chris menegaskan —> harusnya Danny di sini yang menegaskan, bukan Chris.
(hlm: 157) Chris: “Kau mau aku menyeret Miho menjauh dari Danny?”, Miho menggeleng. “Tidak apa-apa , Chris….” —-> harusnya yang menggelang adalah Naomi.
………….dan rasanya masih ada buanyakkkkk lagi kesalahan teknis cetak yang lainnya.
Maka, perpaduan antara segepok kesalahan teknis, minimnya konflik yang merangkai cerita, goyahnya beberapa karakter kunci, skenario klise yang gampang ketebak, serta diksi yang kelewat minim dan sering berulang membuat novel ini menjadi seri terjelek dari metropop seri musimnya Ilana, menurut saya pribadi. Semoga saja, di novel berikutnya Ilana lebih bisa mengeksplorasi tema dan plot yang berbeda sehingga dapat menyuguhkan novel yang tetap romantis namun berbobot.
Okay…selamat membaca, kawan!
Sinopsis (cover belakang)
Gadis itu tidak menyukainya. Kenapa?
Astaga, ia—Danny Jo—adalah orang yang baik. Sungguh! Ia selalu bersikap ramah, sopan dan menyenangkan. Lalu kenapa Naomi Ishida menjauhinya seperti wabah penyakit? Bagaimana mereka bisa bekerja sama dalam pembuatan video musik ini kalau gadis itu mengacuhkannya setiap saat? Kesalahan apa yang sudah dia lakukan?
Bagaimanapun juga Danny bukan orang yang gampang menyerah. Ia akan mencoba mendekati Naomi untuk mencari tahu alasan gadis itu memusuhinya.
Tetapi ada dua hal yang tidak diperhitungkan Danny. Yang pertama adalah kemungkinan ia akan jatuh cinta pada Naomi Ishida yang dingin, misterius, dan penuh rahasia itu. Dan yang kedua adalah kemungkinan ia akan menguak rahasia gelap yang bisa menghancurkan mereka berdua dan orang-orang yang mereka sayangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar